Oleh : Mukhtarodin
Guru SMAN 2 Tebing Tinggi Barat Kabupaten Kepulauan Meranti Riau
KabarPesisirNews.Com
KEP.MERANTI RIAU, -
Mengisi rapor bukan hanya soal menulis angka, bukan sekadar rutinitas administratif di akhir semester, melainkan sebuah proses reflektif yang sarat dengan dilema moral, profesional, dan emosional bagi seorang guru.
Rapor menjadi dokumen resmi yang merekam perjalanan belajar murid, sekaligus alat komunikasi antara sekolah, orang tua, dan murid.
Namun, di balik angka dan deskripsi yang tertulis rapi, tersimpan pergulatan batin guru dalam menyeimbangkan objektivitas penilaian, empati terhadap kondisi murid, serta tuntutan sistem pendidikan yang kerap kaku, bagi seorang guru, ini adalah momen yang paling penuh beban moral.
Secara ideal, rapor harus mencerminkan capaian belajar murid secara objektif. Nilai yang tertulis seharusnya merupakan representasi kemampuan murid berdasarkan standar kompetensi yang telah ditetapkan.
Namun, dalam praktiknya, guru kerap dihadapkan pada situasi yang jauh dari ideal.
Tidak semua murid memiliki latar belakang yang sama. Ada murid yang cerdas tetapi kurang disiplin, ada yang rajin namun memiliki keterbatasan akademik, dan ada pula yang mengalami persoalan keluarga atau sosial yang berdampak langsung pada prestasi belajar.
Dalam kondisi seperti ini, guru sering bertanya pada diri sendiri: apakah nilai harus sepenuhnya mencerminkan angka hasil ujian, ataukah mempertimbangkan usaha, sikap, dan kondisi pribadi murid? Ketika seorang murid berjuang keras tetapi hasilnya tetap rendah, menuliskan nilai apa adanya terasa kejam.
Sebaliknya, menaikkan nilai demi “kebaikan” murid dapat mengorbankan prinsip keadilan dan kejujuran akademik.
Dilema semakin kompleks ketika rapor tidak hanya dibaca oleh murid dan orang tua, tetapi juga menjadi alat seleksi untuk jenjang pendidikan berikutnya.
Nilai dalam rapor dapat menentukan diterima atau tidaknya seorang murid di sekolah favorit, memperoleh beasiswa, atau bahkan membentuk rasa percaya diri jangka panjang.
Kesalahan atau kompromi kecil dalam penilaian bisa berdampak besar pada perjalanan hidup seseorang.
Tekanan tidak hanya datang dari dalam hati guru, tetapi juga dari luar.
Orang tua sering kali menuntut nilai tinggi tanpa mau memahami proses belajar murid.
Sekolah juga memiliki kepentingan menjaga citra dan angka kelulusan.
Dalam situasi ini, guru berada di posisi yang rentan: antara idealisme profesi dan tuntutan sistem.
Seperti yang dikemukakan oleh Kunandar dalam Penilaian Autentik (2013), penilaian seharusnya berorientasi pada proses dan perkembangan murid, bukan semata-mata hasil akhir. Namun, sistem pendidikan sering kali masih menempatkan angka sebagai indikator utama keberhasilan.
Di sisi lain, rapor juga memiliki fungsi pedagogis. Rapor seharusnya menjadi sarana refleksi bagi murid untuk memahami kelebihan dan kekurangannya.
Sayangnya, fokus yang berlebihan pada nilai angka membuat aspek ini sering terabaikan.
Banyak murid hanya melihat rapor sebagai penentu “pintar” atau “tidak pintar”, bukan sebagai alat pembelajaran.
Hal ini diperparah jika guru sendiri terjebak pada rutinitas administratif tanpa sempat memberikan umpan balik yang bermakna.
Menurut Stiggins dalam Assessment for Learning (2005), penilaian yang baik adalah penilaian yang mampu mendorong motivasi belajar murid, bukan justru mematahkan semangat mereka.
Namun, bagaimana mungkin rapor dapat memotivasi jika ia hanya berisi angka-angka tanpa konteks dan penjelasan? Di sinilah guru kembali menghadapi dilema: keterbatasan waktu, beban administrasi, dan format rapor yang kaku sering kali menyulitkan pemberian penilaian yang manusiawi dan mendidik.
Selain itu, kebijakan kurikulum yang terus berubah juga menambah kerumitan. Guru dituntut memahami berbagai aspek penilaian, pengetahuan, keterampilan, dan sikap, dengan instrumen yang tidak selalu mudah diterapkan.
Ketika pemahaman dan pelatihan belum merata, penilaian berpotensi menjadi tidak konsisten.
Akibatnya, rapor tidak lagi menjadi cermin objektif kemampuan murid, melainkan hasil kompromi dari berbagai keterbatasan.
Dilema semakin kompleks ketika guru berhadapan dengan murid yang memiliki latar belakang keluarga dan sosial yang beragam. Faktor ekonomi, kondisi psikologis, serta dukungan orang tua sangat memengaruhi prestasi belajar.
Seorang murid yang nilainya rendah bukan selalu karena malas atau tidak mampu, melainkan mungkin karena harus membantu orang tua bekerja atau menghadapi masalah keluarga.
Dalam situasi seperti ini, guru sering kali merasa terbelah antara kewajiban profesional untuk menilai secara objektif dan dorongan moral untuk menunjukkan empati.
Memberikan nilai rendah terasa tidak adil secara kemanusiaan, tetapi menaikkan nilai tanpa dasar akademik yang kuat juga berpotensi mencederai prinsip kejujuran.
Sistem pendidikan itu sendiri sering kali mempersempit makna rapor menjadi kumpulan angka. Meskipun kurikulum terbaru telah mendorong penilaian autentik dan deskriptif, realitas di lapangan menunjukkan bahwa angka masih menjadi fokus utama.
Akibatnya, guru merasa terbebani untuk “menyelaraskan” nilai agar sesuai dengan standar kelulusan atau target sekolah.
Dalam kondisi tertentu, nilai rapor menjadi alat legitimasi keberhasilan institusi, bukan lagi cerminan jujur perkembangan individu murid.
Hal ini menempatkan guru dalam dilema struktural, di mana idealisme pendidikan harus berhadapan dengan tuntutan birokrasi.
Dari sisi psikologis, mengisi rapor juga berdampak pada hubungan emosional antara guru dan murid.
Guru yang telah mendampingi murid selama satu semester tentu memahami karakter, potensi, dan keterbatasan mereka.
Ketika harus menuliskan nilai atau deskripsi yang kurang baik, guru sering kali merasa bersalah atau khawatir akan melukai perasaan murid.
Padahal, umpan balik yang jujur dan konstruktif sangat penting bagi perkembangan belajar.
Dilema ini menuntut guru untuk memiliki kecerdasan emosional agar mampu menyampaikan penilaian secara bijak tanpa menghilangkan makna evaluatif rapor itu sendiri.
Di sisi lain, rapor juga menyimpan potensi besar sebagai alat refleksi dan motivasi belajar.
Jika disusun dengan pendekatan yang manusiawi dan edukatif, rapor dapat menjadi cermin yang membantu murid memahami kekuatan dan kelemahannya. Oleh karena itu, dilema saat mengisi rapor seharusnya tidak dihindari, melainkan dikelola dengan prinsip profesionalisme dan etika.
Guru perlu memandang penilaian sebagai bagian dari proses pendidikan, bukan sekadar hasil akhir.
Dengan demikian, nilai yang diberikan tidak hanya adil secara akademik, tetapi juga bermakna secara pedagogis.
Namun, di balik semua dilema tersebut, mengisi rapor sejatinya adalah momentum refleksi bagi guru. Rapor bukan hanya menilai murid, tetapi juga menilai proses pembelajaran yang telah berlangsung.
Nilai yang rendah seharusnya menjadi alarm bagi guru dan sekolah untuk mengevaluasi metode, pendekatan, dan lingkungan belajar.
Sebagaimana dikemukakan oleh Sudjana dalam Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar (2010), penilaian harus digunakan untuk memperbaiki pembelajaran, bukan sekadar mengklasifikasikan murid.
Oleh karena itu, solusi dari dilema mengisi rapor tidak bisa dibebankan sepenuhnya kepada guru.
Dibutuhkan sistem penilaian yang lebih fleksibel, manusiawi, dan berorientasi pada perkembangan murid.
Orang tua perlu diedukasi bahwa nilai bukan satu-satunya indikator keberhasilan.
Sekolah harus mendukung guru dengan pelatihan dan kebijakan yang realistis.
Dan yang terpenting, pendidikan harus kembali pada hakikatnya: memanusiakan manusia secara manusiawi."****
EDITOR : REDAKSI