Minggu, 28 Desember 2025

Memaknai Pentingnya Liburan


Oleh. :  Mukhtarudin
Guru SMAN 2 Tebing Tinggi Barat Kabupaten Kepulauan Meranti Riau 






KabarPesisirNews.Com
SELATPANJANG RIAU,    -
Sudah menjadi rutinitas setiap tahunnya setelah murid-murid melaksanakan assesmen, maka akan tiba masa yang di sebut libur sekolah atau dengan kata lain liburan, atau penulis sebut dengan jeda singkat dari setiap aktivitas. 


Namun jika ditelisik lebih dalam, ia bukan sekadar aktivitas rekreatif, melainkan ruang refleksi yang sangat penting bagi keseimbangan hidup manusia modern. Di tengah budaya produktivitas yang terus menuntut laju cepat, liburan menjadi momen untuk memperlambat langkah, mengembalikan kesehatan mental, serta mengenali kembali diri di luar identitas profesional sehari-hari. 


Dengan memaknai liburan secara lebih filosofis dan psikologis, kita dapat melihat bahwa liburan bukan hanya waktu senggang, tetapi juga sarana memperluas makna hidup. 

   Dalam Leisure: The Basis of Culture karya Josef Pieper (1952), menjelaskan bahwa leisure—yang dapat diterjemahkan sebagai waktu luang bermakna—merupakan fondasi perkembangan budaya manusia. Leisure bukan identik dengan kemalasan, melainkan kondisi batin yang memungkinkan seseorang merenung, 


mengapresiasi keindahan, dan menumbuhkan kreativitas. Jika mengikuti gagasan Pieper ini, liburan seharusnya tak hanya dipahami sebagai usaha kabur dari pekerjaan, melainkan sebagai upaya menciptakan “ruang batin” agar manusia dapat kembali menjadi dirinya sendiri. 


Liburan menjadi medium untuk menata ulang koneksi antara tubuh, pikiran, dan dunia sekitar. Dalam  kehidupan modern tidak dapat dipungkiri bahwa manusia menjadi makhluk yang rentan kelelahan. 


Ada sebuah buku Burnout: The Secret to Unlocking the Stress Cycle oleh Emily Nagoski dan Amelia Nagoski (2019), menegaskan ketegangan emosional yang tidak terselesaikan dapat menumpuk dan menggerogoti kesehatan. 


  Liburan ketika dilakukan dengan niat pemulihan, bukan sekadar berpindah tempat, dapat membantu menuntaskan siklus stres tersebut. 


Misalnya, berada di alam membantu menurunkan hormon kortisol secara alami. Aktivitas sederhana seperti berjalan di pantai, mendaki gunung, atau sekadar duduk menikmati pemandangan memberi kesempatan kepada tubuh untuk keluar dari mode “bertahan hidup” dan masuk ke mode “pemulihan”. 


Pandangan ini diperkuat oleh teori Attention Restoration Theory dari Stephen Kaplan dalam bukunya The Experience of Nature (1989), yang menyatakan bahwa lingkungan natural dapat memulihkan kapasitas perhatian manusia yang terkuras oleh lingkungan perkotaan dan tuntutan kognitif.  


Masa sekarang, liburan sering disalahpahami sebagai ajang konsumsi. Banyak orang merasa harus bepergian jauh atau menghabiskan uang banyak agar liburannya dianggap “bernilai”. Padahal, seperti yang dijelaskan Alain de Botton dalam The Art of Travel (2002), kualitas pengalaman perjalanan tidak ditentukan oleh eksotisme lokasi, melainkan oleh cara kita melihat dan menghayati tempat tersebut. 


De Botton menyoroti bahwa kadang-kadang justru imajinasi kita tentang suatu tempat yang membuatnya terasa menarik, bukan kenyataan objektifnya. Kita memproyeksikan harapan akan kedamaian, keindahan, dan kebaruan yang belum tentu kita temukan begitu tiba di tempat itu. 


Oleh sebab itu, liburan yang bermakna bukan soal sejauh apa kita bepergian, melainkan sejauh mana kita hadir dalam pengalaman itu.


Sangat penting untuk menyoroti dimensi kesadaran dalam liburan. Liburan dapat menjadi kesempatan untuk menerapkan prinsip mindfulness, sebagaimana dijelaskan Jon Kabat-Zinn dalam Wherever You Go, There You Are (1994). 


Ketika seseorang benar-benar hadir pada pengalaman, mendengarkan suara ombak, merasakan angin, memperhatikan detail lingkungan, ia sedang melatih kehadiran batin yang kerap hilang dalam rutinitas. Liburan menjadi latihan untuk kembali menyadari bahwa hidup tidak hanya tentang menyelesaikan tugas, tetapi juga tentang menghayati momen.


liburan juga berfungsi sebagai ruang pembelajaran. Dalam Vagabonding (2003), Rolf Potts menyatakan bahwa perjalanan memungkinkan seseorang meninggalkan zona nyaman dan melihat kehidupan melalui perspektif baru. 


Perjalanan mendorong kita berinteraksi dengan orang dari latar berbeda, mencoba makanan baru, atau menghadapi situasi tidak terduga, yang semuanya memperkaya pemahaman tentang dunia dan diri sendiri. 


Nilai pembelajaran ini dapat dicapai bahkan dalam perjalanan singkat, selama kita membuka diri pada pengalaman baru. 


Liburan juga memiliki dimensi sosial. Dalam konteks keluarga, liburan menjadi momen mempererat hubungan yang mungkin renggang karena kesibukan sehari-hari. Seperti dijelaskan oleh Gary Chapman dalam The Five Love Languages (1992), kehadiran berkualitas (quality time) merupakan salah satu bahasa cinta yang penting.


Ketika keluarga bepergian bersama, mereka menciptakan memori emosional yang memperkuat ikatan. 


Demikian pula dalam pertemanan atau hubungan romantis, berbagi pengalaman dalam lingkungan baru dapat memperkaya relasi melalui kenangan dan percakapan yang lebih intim daripada di rumah.


Namun memaknai liburan secara sehat juga berarti memahami bahwa tidak semua liburan harus produktif atau penuh aktivitas. 


Banyak orang merasa tertekan untuk “memaksimalkan” liburan dengan jadwal yang padat, ironi dari upaya mencari ketenangan. 


Di sinilah pentingnya menyeimbangkan kebutuhan eksplorasi dengan kebutuhan istirahat. Dalam How to Do Nothing (2019), Jenny Odell menekankan nilai dari melakukan “ketiadaan yang disengaja” sebagai bentuk perlawanan terhadap budaya produktivitas. Kadang-kadang liburan yang paling bermakna justru adalah liburan yang tidak memiliki agenda apa pun.


Pada akhirnya, memaknai liburan berarti berpindah dari pola pikir “pelarian” menjadi “pembaruan”. 


Liburan bukan sekadar upaya untuk lari dari tekanan, tetapi kesempatan untuk kembali dengan perspektif yang lebih segar, tubuh yang lebih bugar, serta hati yang lebih penuh. 


Liburan adalah ruang jeda dalam kalimat panjang kehidupan; tanpa tanda koma, kita tidak bisa membaca maknanya dengan baik. 


Liburan memberi kita koma, ruang untuk bernapas, agar kita dapat melanjutkan perjalanan hidup dengan lebih sadar dan seimbang.


Maka, liburan yang bermakna adalah liburan yang kita jalani dengan kesadaran, kehadiran, dan refleksi. 


Entah itu dilakukan dengan berpetualang ke tempat baru, menikmati alam, menghabiskan waktu bersama orang tercinta, atau sekadar berdiam diri di rumah, yang terpenting adalah bagaimana liburan itu membantu kita menjadi lebih utuh sebagai manusia. 


Ketika liburan dimaknai sebagai proses pemulihan dan pengenalan diri, ia tidak lagi menjadi kemewahan, tetapi sebuah kebutuhan spiritual dan psikologis.


Namun, di musin liburan tahun ini kita sedang menghadapi cuaca ekstrem, perubahan iklim global, pola cuaca yang makin tidak stabil, dan meningkatkan frekuensi cuaca ekstrem, panas menyengat, hujan deras, angin kencang, hujan lebat hingga potensi badai atau banjir, membuat setiap rencana liburan berisiko. 


Menurut pengamatan terbaru, bahkan wilayah tropis seperti Indonesia sudah mulai tidak bisa dianggap aman dari potensi gangguan cuaca besar. 


Akibat cuaca ekstrem bukan hanya sekedar membuat liburan kurang nyaman, tetapi berpotensi membahayakan: kesehatan (heat-stroke, dehidrasi, gangguan pernapasan), kecelakaan (banjir, longsor, gelombang tinggi, banjir rob), hingga gangguan logistic (transportasi, akomodasi, layanan darurat) jika infrastruktur terganggu. 


Sebut saja sebagai mana yang saudara-saudara kita alami di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh, semoga saudara kita yang sedang mengalami musibah diberi kekuatan untuk bersabar dan kuat menghadapi cobaan tersebut serta kita berdoa semoga Allah memberikan pengganti yang terbaik, karena itu semua kita serahkan kepada Allah sambil kita berusaha dan berdoa.


Untuk itu, jika kita memutuskan untuk liburan ada beberapa prinsip mendasar yang sebaiknya dijadikan pedoman: Pantau prakiraan cuaca sebelum berangkat, pilih destinasi dan aktivitas yang aman, siapkan perlengkapan dan logistic dengan matang, siapkan rencana atau yang fleksibel, utamakan kesehatan dan kewaspadaan terhadap tubuh. 


Dengan memperhatikan prinsip-prinsip tersebut, maka mudah-mudahan liburannya bisa tetap jadi pengalaman yang menyenangkan, tapi dilakukan dengan penuh tanggung jawab terhadap diri sendiri dan lingkungan."****





EDITOR           :     REDAKSI 

Load comments